ORANG bijak berkata: "Kebenaran itu bukan untuk dipelajari, melainkan ditemukan." Pertanyaannya adalah: "Di mana mencarinya?" Jawabnya: "Di dalam diam!" Sebab, di dalam diam itu kita bisa berbicara dengan hati. Hati itu merupakan teleskop dari jiwa, sedangkan mata merupakan teleskop dari hati. Contoh. Kita sering mempertunjukkan kekerdilan diri karena tidak mau diam.
Mulut nyerocos, tahu-tahu tidak nyambung antara keinginan hati dan paparan mulut. Berbuih-buih sudah mulut berkoar, akhirnya kebohongannya terkuak dan sulit ditambal.
Padahal, asal tahu saja, diam adalah perisai orang bodoh dan pelindung bagi orang bijak. Orang bodoh tak perlu membuktikan kebodohannya bila ia diam, dan orang bijak tak akan melemparkan mutiara ke depan babi bila ia tahu nilai diam. Dengan diam --sembari belajar sabar-- sebuah soal yang pelik bisa terpecahkan. Anda pernah dengar kisah Nasrudin mencari jarum di halaman rumahnya? Berjam-jam dia mencari jarum yang hilang itu hingga membuat seluruh tetangganya tergerak. Ramai-ramai mereka ikut sibuk membantu Nasrudin, tapi jarum yang dicari tidak ditemukan. Seperti lenyap tertelan bumi.
Namun, ada seorang yang diam, yang hanya memperhatikan polah tingkah mereka. Lama-lama orang ini mendekati Nasrudin dan bertanya: "Anda mencari apa?" Jarum yang hilang. "Di mana jarum itu terjatuh?" Nasrudin menjawab: "Di dalam rumah." Lho, kok, dicari di halaman rumah? "Ya, di dalam rumah gelap, tapi di halaman ini terang." Logika Nasrudin memang sering terbolak-balik. Namun, dari cerita ini bisa ditarik garis apa saja. Misalnya, bahwa sebenarnya kehidupan itu intinya ada di hati. Jika "hati itu gelap", sulit menemukan kebenaran. Jadi, butuh "cahaya" Ilahi. Sebenarnya pula, tiada sesuatu kehidupan yang tanpa makna. Hanya karena tak memahaminya, maka kita berada dalam kegelapan.
Sebenarnya, setiap gerak, isyarat, bentuk, suara, perkataan, ekspresi, suasana, semuanya menjadi ekspresi sifat dan karakter seseorang. Tanpa harus berbicara, mata seseorang sudah bisa terlihat, adakah dia ridha atau tidak, mau atau enggan, menolak atau menyetujui, cinta atau benci, bohong atau jujur. Bahkan, kearifan dan kebodohan semua menjelma melalui mata. Melalui mata pula akan ketahuan bahwa persahabatan itu sebatas kepentingan profesional, penuh pamrih atau setengah tulus. Tak bisa dimungkiri bahwa tiada hidup yang tanpa pamrih, baik kepada orangtua, anak, istri, mertua, maupun tetangga. Yang membedakan cuma kadar kepamrihannya. Kita sering tak peduli pada tawa dan tangis orang lain. Banyak orang kaya dan punya kedudukan, tapi acap dipenuhi kekecewaan. Ia sering sedih tanpa tahu penyebabnya. Ia merindukan kebahagiaan. Pepatah Hindu mengatakan: "Makin kita mengejar kebahagiaan, makin tak bahagia keadaan yang kita temukan."
Itu karena kita kurang merenung, dan "diam". Hati kita tak lagi peka mendengar "suara" orang lain. Bila kita tak mampu memahami masalah sendiri dengan dalam, bagaimana bisa memahami orang lain? Maka, yang muncul kemudian adalah menyalahkan, menyikut, mempermalukan, membodohi, dan menipu orang lain. Kita jadi licik. Ini sebuah soal yang terasa makin jamak di negeri ini. "Oleh karena itu, yang penting bagimu, kerjakanlah apa-apa yang baik bagimu dan bukan yang baik menurut mereka, sembari kau serahkan jiwa ragamu kepada Tuhan," tulis Jatiswara Kawedar. Dan, Anda pernah mendengar bahwa, "Manusia itu sesungguhnya adalah gurunya sendiri; di dalam dirinya sendiri terdapat rahasia keberadaannya."
Maka sekali-sekali diam dan merenunglah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar